Langit Situbondo sore itu berwarna jingga muda. Di antara suara debur ombak dan desir angin laut, seorang pemuda berkemeja biru laut berdiri di atas perahu kecil, menatap deretan keramba yang berayun pelan. “Di sinilah semuanya dimulai,” ujar Hendra pelan sambil tersenyum. Tangannya menepuk bahu nelayan di sebelahnya kawan seperjuangan yang kini menaruh harapan hidup pada lobster-lobster kecil yang menari di bawah air.
Hendra, anak muda asal Bondowoso, bukan berasal dari keluarga nelayan. Namun, laut seperti memanggilnya. Dalam gelombang yang berkejaran, ia menemukan panggilan hidup dengan menyatukan teknologi dengan kearifan bahari Indonesia. Ia ingin menunjukkan bahwa inovasi tak harus datang dari gedung-gedung tinggi, tetapi bisa lahir dari bibir pantai yang sunyi, dari tangan nelayan yang terbakar matahari.
Tidak terasa sudah tiga tahun ini saya menulis tentang kegiatan dan mimpi Hendra. Apalagi saya bisa melihat langsung bagaimana seorang Hendra bisa menjadi salah satu pemenang SATU Indonesia Awards 2021. Keinginan kecil untuk terus #SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia.
Menjalin Harapan di Antara Gelombang
Indonesia, negeri dengan 17.000 pulau dan 6,4 juta kilometer persegi lautan, menyimpan potensi bahari yang luar biasa. Namun di balik gemuruh ombak, tersimpan ironi: kekayaan laut yang melimpah belum sepenuhnya dimanfaatkan. Salah satunya adalah lobster, si permata laut yang nilainya bisa menembus jutaan rupiah per kilogram.
Hendra menyadari hal itu ketika ia masih menjadi mahasiswa perikanan di Universitas Brawijaya. Ia membaca banyak data, meneliti kualitas air, dan menemukan fakta yang menyesakkan: Vietnam bisa menjadi produsen lobster terbesar di dunia dengan bibit yang sebagian berasal dari Indonesia. Ironi yang membuatnya sulit tidur berhari-hari.
“Kalau kita punya laut yang lebih jernih, mengapa kita tidak bisa jadi juara di rumah sendiri?” kenangnya saat saya menemuinya di tepi Pantai Pasir Putih, Situbondo.
Pertanyaan itu menjadi bahan bakar semangatnya. Ia lalu menggagas mimpi yang sederhana tapi besar untuk menjadikan lobster bukan lagi makanan mewah, tapi santapan harian bagi keluarga Indonesia.
Lahirnya Lobstech: Inovasi dari Laut Nusantara
Dari keprihatinan itu, Hendra bersama teman-teman kuliahnya merancang Lobstech sebuah alat uji kualitas air laut berbasis Internet of Things (IoT). Bentuknya sederhana, seperti kotak sensor kecil, tapi manfaatnya luar biasa. Alat ini bisa memantau suhu, salinitas, pH, dan kadar oksigen air laut secara real time. Data tersebut langsung dikirim ke ponsel para nelayan, agar mereka tahu kapan kondisi laut sedang optimal atau perlu tindakan cepat.
“Dulu nelayan hanya menebak-nebak. Sekarang mereka bisa melihat data langsung,” jelas Hendra sambil menunjukkan aplikasinya di layar ponsel. Angin laut berhembus, membawa aroma asin yang khas.
Dengan teknologi IoT itu, Hendra berhasil menjaga kualitas air untuk budidaya lobster agar tetap stabil. Hasilnya mencengangkan, ternyata produktivitas lobster meningkat hingga 50 persen, dan waktu panen berkurang separuh. Yang dulunya butuh sembilan bulan, kini hanya empat bulan saja.
Bagi para nelayan, itu bukan sekadar efisiensi. Itu adalah kembali hidupnya asa.
Menggerakkan Nelayan, Menghidupkan Desa
Di awal perjuangan, Hendra sering dianggap aneh. Nelayan Situbondo yang terbiasa dengan cara lama menatap curiga alat kecil yang disebutnya “kotak ajaib”. Tapi Hendra tidak menyerah. Ia datang ke rumah-rumah nelayan, duduk di bale-bale bambu, menjelaskan dengan sabar bagaimana teknologi itu bisa membantu mereka. Ia bahkan ikut melaut, memasang sensor sendiri, hingga para nelayan percaya bahwa Lobstech bukan alat dari kota, tapi alat dari mereka sendiri.
Kini, lebih dari 100 keramba lobster tersebar di sepanjang pantai Situbondo. Nelayan seperti Pak Eko, yang dulu kehilangan pekerjaan karena turunnya harga ikan kerapu, kini bisa tersenyum lagi.
“Saya bisa panen lebih cepat. Pak Hendra itu bukan cuma kasih alat, tapi juga kasih semangat,” ujar Pak Eko, matanya berbinar.
Hendra bukan hanya mengajarkan teknologi, tapi juga mengajarkan kepercayaan diri. Ia menunjukkan bahwa laut bukan tempat menyerah, tapi tempat untuk bangkit.
Satukan Gerak, Terus Berdampak
Kisah Hendra bukan sekadar tentang teknologi. Ia adalah contoh nyata bagaimana semangat gotong royong dan kolaborasi bisa mengubah wajah desa. Ia bekerja bersama masyarakat, pemerintah daerah, hingga akademisi, menjadikan Situbondo sebagai model pengembangan budidaya lobster berkelanjutan.
Melalui dukungan SATU Indonesia Awards dari Astra, Hendra tak lagi berjalan sendiri. Ia kini menjadi bagian dari gerakan besar yang menyatukan langkah ribuan anak muda Indonesia yang berbuat dari daerahnya masing-masing. Astra memberi dukungan pelatihan, akses jejaring, dan ruang untuk mengembangkan inovasi Lobstech agar bisa digunakan di wilayah pesisir lainnya.
“Bagi saya, ini bukan tentang penghargaan. Ini tentang keberlanjutan. Kalau nelayan bisa hidup layak, laut kita pun akan tetap terjaga,” ucapnya dengan nada rendah, namun penuh keyakinan.
Hendra percaya, dampak besar selalu berawal dari langkah kecil yang dilakukan bersama.
Teknologi dan Kearifan Lokal yang Berdampingan
Keunikan Hendra terletak pada kemampuannya menjembatani dunia modern dan tradisional. Di satu sisi, ia paham betul algoritma dan sensor digital; di sisi lain, ia menghargai pengetahuan turun-temurun para nelayan. Ia tahu kapan ombak akan tinggi hanya dengan melihat arah angin, tapi ia juga tahu bagaimana data IoT bisa memperingatkan perubahan kadar oksigen sebelum lobster mati.
“Teknologi tanpa empati tidak akan bertahan di laut,” katanya.
Di sinilah kekuatan sejati gerakan seperti Astra SATU Indonesia Awards terlihat, mereka tidak sekadar mencari inovasi yang canggih, tapi juga yang berjiwa sosial, yang menumbuhkan masyarakat tanpa menghapus akar budaya mereka.
Mimpi untuk Indonesia Bahari
Kini, Hendra sedang mengembangkan versi baru Lobstech yang lebih kecil dan murah agar bisa dimiliki oleh lebih banyak nelayan di berbagai daerah. Ia juga bermimpi untuk mengembangkan hatchery (panti benih) lobster sendiri, agar Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada impor atau kehilangan benih ke luar negeri.
“Saya ingin anak-anak nelayan bisa sekolah dari hasil lobster yang mereka budidayakan sendiri,” katanya sambil menatap matahari terbenam di ufuk barat. Ombak menepi lembut, seolah mendengarkan mimpinya.
Di tengah percakapan, ia menunjukkan foto anak-anak muda desa yang kini ikut menjadi operator Lobstech. Mereka belajar tentang data, teknologi, dan cara menjaga ekosistem laut. “Mereka ini masa depan Situbondo. Dulu tidak pernah menyentuh laptop, sekarang bisa membaca grafik air laut setiap hari,” ujarnya bangga.
Hendra membuktikan bahwa inovasi tidak harus datang dari laboratorium mahal, tapi dari hati yang peduli pada lautnya sendiri.
Diorama Laut Indonesia yang Terus Bergerak
Melihat Hendra berdiri di atas perahu kecilnya, saya seperti melihat diorama kehidupan laut Indonesia yang sesungguhnya. Laut biru yang luas, nelayan yang tersenyum, teknologi yang berdetak di bawah permukaannya, dan harapan yang terus tumbuh.
Lobstech bukan hanya alat, tapi simbol dari gerak yang berdampak. Gerak yang menyatukan anak muda, nelayan, dan teknologi menjadi satu kesatuan harmoni untuk Indonesia yang lebih mandiri.
Dan di antara semua ombak dan badai, Hendra terus menulis kisahnya kisah tentang laut, tentang manusia, dan tentang harapan yang tak pernah padam.
“Saya percaya, laut kita tidak hanya penuh ikan, tapi juga penuh peluang,” katanya, sebelum menyalakan perahu untuk kembali ke tengah laut.
Di kejauhan, matahari tenggelam perlahan. Ombak menggulung lembut. Dan di antara warna oranye yang menari di permukaan air, Hendra dan Lobstech-nya terus menjadi denyut kecil yang menyatukan gerak, terus berdampak.
.png)
.png)
.png)
.png)
Posting Komentar
Posting Komentar